Menantang Anak Muda Untuk Mewujudkan Politik Yang Daman Dan Bersih

Poros Nasional. Komitmen peserta pemilu terhadap pemberantasan korupsi akan selalu menjadi sorotan calon pemilih. Contoh paling sederhana tampak dari pertanyaan-pertanyaan terkait korupsi yang masuk ke redaksi IDN Times melalui platform #MillennialsMemilih.

"Dari dulu bangsa kita sangat sulit melepas praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Apakah pemimpin yang akan terpilih nantinya mampu untuk menghilangkan hal tersebut atau paling tidak secara statistik di tahun-tahun yang akan datang praktik tersebut mulai menurun?" tanya Fajri Setiawan.

Atau misalnya pertanyaan dari Reduan Panyu Baday. "Bagaimana cara calon presiden menyikapi kasus korupsi yang disebut sebagai budaya Indonesia ?" Ini memperlihatkan bahwa sebenarnya masih ada anak muda yang peduli terhadap perang melawan korupsi.

Pekerjaan rumah besar yang menanti adalah bagaimana agar kepedulian itu tak berubah menjadi sikap apatis total karena melihat lambannya perubahan.

1. Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara

Korupsi di Indonesia sudah dalam kondisi mengkhawatirkan. Menurut indeks persepsi korupsi yang dirilis oleh Transparency International, pada 2017 lalu Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 negara di dunia. Dari 0-100, Indonesia mendapatkan skor 37 di mana 0 berarti memiliki status sangat korup dan 100 sangat bersih.

Skor itu tidak berubah dari tahun sebelumnya. Dengan kata lain, menurut para pakar dan pebisnis yang dipercaya untuk memberikan penilaian, negara ini membuat sedikit sekali kemajuan dalam pemberantasan korupsi dibandingkan terdahulu.

2. Masyarakat kian permisif dengan perilaku korupsi

Praktik korupsi tidak terjadi secara tiba-tiba. Ini sudah ada selama bertahun-tahun, bahkan mencapai puncaknya ketika Indonesia berada dalam otoritarianisme selama lebih dari tiga dekade. Semakin lama masyarakat pun tak terlalu heran bila sektor publik kerap diwarnai dengan praktik-praktik ilegal di mana para pejabatnya mau menerima suap atau bahkan melakukan pemerasan.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 10.000 responden dari 34 provinsi di Indonesia menemukan indeks perilaku anti-korupsi masyarakat pada 2018 berada di angka 3,66. Padahal, indeks setahun sebelumnya adalah 3,71. Semakin mendekati angka lima, maka masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap perilaku korupsi.

3. Korupsi menjadi endemik di segala ranah
Menantang Anak Muda Mewujudkan Politik BersihANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bila kembali ke hasil laporan yang dirilis Transparency International, tiga cabang utama dalam sistem demokrasi di Indonesia—legislatif, eksekutif dan yudikatif—sudah sangat tercemar dengan beragam perilaku korupsi. Indeks penyuapan di negara ini tergolong sangat buruk dan bukan hanya terjadi di level atas.

Survei itu menyebut bahwa 32 persen responden mengaku menyuap pejabat publik untuk mendapatkan kemudahan dalam mengurus administrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga (KK). Ini didukung oleh hasil survei BPS di mana memberi dan menerima suap ketika penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pelajar adalah hal wajar. Tragisnya, pelajar SMU ternyata yang paling permisif terhadap perilaku korupsi.

4. Orang-orang yang diberi amanah oleh rakyat tidak memberikan contoh yang baik

Menantang Anak Muda Mewujudkan Politik BersihANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Sementara itu, organisasi anti-suap TRACE International menilai sebenarnya Indonesia punya undang-undang anti-suap yang sangat baik. Persoalannya adalah pada aparat penegak hukum yang dianggap masih belum maksimal. Kurangnya transparansi pemerintah dalam menjalankan sejumlah urusan juga dipandang sebagai kendala.

Parahnya lagi adalah menurut survei Global Corruption Barometer (GCB) pada 2017 memperlihatkan mayoritas publik dalam negeri melihat DPR sebagai institusi paling korup. Artinya, partai politik dan politisi itu sendiri juga mendapatkan skor negatif. David Sepriwasa, Satgas Politik Dikyanmas KPK, mengatakan ada "35 persen tokoh politik yang ditangkap" oleh lembaganya. Angka itu meningkat lima persen dibandingkan pada 2017.

5. Proses rekrutmen dan kaderisasi partai yang salah berkorelasi dengan mental korup

Siapapun yang ingin dipilih oleh masyarakat untuk menduduki posisi tertentu wajib menanggung beban untuk bersikap transparan. Namun, apa yang terjadi bila proses mereka untuk dipilih ternyata justru sebaliknya? Ini yang diyakini menjadi salah satu sumber masalah maraknya korupsi di antara para pemangku kekuasaan.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan tidak adanya transparansi dalam proses rekrutmen serta buruknya kaderisasi internal partai mendorong terjadinya korupsi. Ia mencontohkan bagaimana hanya orang-orang dengan sumber daya besar yang bisa menjadi kader partai, bahkan diberi posisi strategis. "Nanti mereka merasa harus balik modal ketika sudah berkuasa," ujarnya.

6. Partai politik punya tanggung jawab memperbaiki diri

Dominasi jumlah pemilih muda pada pilpres 2019 nanti melahirkan gelombang yang mendorong generasi z dan millennials untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Premisnya adalah anak muda belum tercemar sistem korup yang selama ini dijalankan para elit sehingga mereka diharapkan mampu membalikkan situasi.

Andy Budiman, caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengklaim ini yang dilakukan pihaknya. Pertama, proses seleksi calon kader yang transparan dan melibatkan "orang-orang yang integritasnya sudah dikenal luas oleh publik".

"Saya sendiri ketika itu diwawancara oleh pak Bibit (Bibit Waluyo mantan ketua KPK) dan bu Mari Elka Pangestu, dan Grace (Grace Natalie) kalau dari PSI," kata Andy. Kedua, pandangan calon kader terhadap isu korupsi juga jadi pertimbangan utama.

Sayangnya, apa yang dilakukan PSI belum terlihat di partai lain. Setidaknya ini yang diakui oleh politisi muda Partai Amanat Nasional (PAN), Faldo Maldini. "Memang kalau kita di PAN belum ada terobosan-terobosan," ucapnya. Bahkan, ia menyebut belum adanya "penuansaan spirit" untuk melakukan terobosan tersebut.

"To be honest belum. Ini kalau dijadiin berita, mati saya ini. Karena saya fair-fair an saja lah. Itu faktanya. Dan apakah kita di PAN yang muda-muda gak punya ide? Salah. Kita punya ide banyak, tapi bos, tinggi bos.. Gak kuat jadi anggota. Kita masih begini-begini saja."

7. Anak muda wajib jadi pembeda

Biaya untuk masuk ke politik memang secara umum masih relatif besar. Jenjang karir di dalam partai politik juga tidak jelas, apalagi kode etiknya. Seiring dengan kian banyaknya politisi dan pejabat yang terjerat korupsi, KPK menyadari pentingnya memberi edukasi kepada baik kepada partai maupun publik.

KPK juga merekomendasikan reformasi internal partai melalui pembenahan kode etik, proses rekrutmen, serta transparansi pendanaan. Yang tak kalah penting adalah bagaimana anak muda tidak putus asa terhadap cita-cita untuk mewujudkan politik bersih. Jika gelombang baru yang mendominasi secara jumlah ini mau jadi pembeda, bukan tidak mungkin praktik korupsi akan secara perlahan tapi pasti runtuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Susi Sangat Ingin Indonesia Sama Seperti Jepang Dalam Hal Mengkonsumsi Ikan

Bertemu Senator Fachrul Razi Di Mekkah, Habib Rizied: Aceh Harus Mampu Menghindarai Dari Fitnah-fitnah Politik

Fahri Hamzah Mau Mengerjakan Ini Sesuai Pensiun Dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)